Sunday, April 10, 2011

Ibu Kartini Murid Kyai Sholeh Darat

Dalam rangka hari Kartini, yang namanya luar biasa harum dan dielu-elukan oleh tidak hanya bangsa Indonesia sendiri, namun juga dikagumi oleh dunia international, saya berusaha mencari informasi tentang Kartini. Terus terang saya sampai sekarang masih belum bisa melihat dimana letak keistimewaan Kartini selain dia putri bangsawan, fasih berbahasa Belanda, dan mempunyai hobi surat menyurat. Sampai-sampai kumpulan suratnya dijadikan buku dan menjadi salah satu karya yang menghebohkan dunia.  
Memang ini salah saya, meskipun sudah mengenal Kartini sejak duduk di sekolah dasar, membaca riwayat hidupnya sebagai anak dari bupati Jepara yang menikah dengan bupati Rembang, dan meninggal dalam usia yang sangat muda, 25 tahun. Bahkan lebih muda dari saya. Namun saya tidak pernah tergelitik untuk mengetahui lebih jauh tentang ide pemikirannya yang disebut-sebut melampaui pemikiran orang-orang di zamannya.. Tidak pernah tergugah untuk mengetahui mengapa Kartini begitu fenomenal.. intinya. saya tidak pernah mau peduli.
Akhirnya saya menyempatkan diri untuk mencari informasi tentang Kartini. Terutama tentang buku 'Habis Gelap Terbitlah Terang', yah minimal mengetahui apa sih yang dibicarakan buku tersebut. Dan saya dapati satu tulisan yang meskipun masih sangat terbatas namun sudah bisa merubah dan membuat saya mengerti mengapa Kartini disebut sebagai gadis fenomenal pada masanya, dan menjadi Ibu emansipasi wanita Indonesia.
Salah satu surat Kartini yang ditujukan kepada sahabat penanya berbunyi:
"Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya agamaku karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya? Al-Quran terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan kedalam bahasa apa pun. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Di sini orang diajar membaca Al-Quran tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibacanya itu. Sama saja halnya seperti engkau mengajarkan aku buku bahasa Inggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi tidak satu patah kata pun yang kau jelaskan kepadaku apa artinya. Tidak jadi orang sholeh pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang yang baik hati, bukankah begitu Stella?" [Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1899]

"Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlunya dan apa manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Al-Quran, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya, dan jangan-jangan guru-guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepadaku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa, kitab yang mulia itu terlalu suci sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya. [Surat Kartini kepada E.E. Abendanon, 15 Agustus 1902].
Meskipun saya sendiri seorang muslim, dan tulisan Kartini diatas terdengar minor, namun saya terus terang mengakui bahwa untuk ukuran seorang perempuan pada masa itu (bahkan ukuran zaman sekarang sekalipun) pendapat Kartini ini benar-benar sangat kritis dan sangat berani. Dan benar, Suatu ketika, takdir membawa Kartini pada suatu pengajian di rumah Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat yang juga adalah pamannya.
Pengajian dibawakan oleh seorang ulama bernama Kyai Haji Mohammad Sholeh bin Umar(atau dikenal Kyai Sholeh Darat) tentang tafsir Al-Fatihah. Kartini tertarik sekali dengan materi yang disampaikan (ini dapat dipahami mengingat selama ini Kartini hanya membaca dan menghafal Quran tanpa tahu maknanya). Setelah pengajian, Kartini mendesak pamannya untuk menemaninya menemui Kyai Sholeh Darat. Berikut ini dialog-nya (ditulis oleh Nyonya Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh Darat).

"Kyai, perkenankanlah saya menanyakan, bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya?"
Tertegun Kyai Sholeh Darat mendengar pertanyaan Kartini yang diajukan secara diplomatis itu.
"Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?". Kyai Sholeh Darat balik bertanya, sambil berpikir kalau saja apa yang dimaksud oleh pertanyaan Kartini pernah terlintas dalam pikirannya.
"Kyai, selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama, dan induk Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan buatan rasa syukur hati aku kepada Allah, namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Quran dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?"
Setelah pertemuan itu nampaknya Kyai Sholeh Darat tergugah hatinya. Beliau kemudian mulai menuliskan terjemah Quran ke dalam bahasa Jawa. Pada pernikahan Kartini , Kyai Sholeh Darat menghadiahkan kepadanya terjemahan Al-Quran (Faizhur Rohman Fit Tafsiril Quran), jilid pertama yang terdiri dari 13 juz, mulai dari surat Al-Fatihah sampai dengan surat Ibrahim. Mulailah Kartini mempelajari Islam dalam arti yang sesungguhnya. Tapi sayang, tidak lama setelah itu Kyai Sholeh Darat meninggal dunia, sehingga Al-Quran tersebut belum selesai diterjemahkan seluruhnya ke dalam bahasa Jawa.
Kartini menemukan dalam surat Al-Baqarah ayat 257 bahwa ALLAH-lah yang telah membimbing orang-orang beriman dari gelap kepada cahaya (Minazh-Zhulumaati ilan Nuur). Rupanya, Kartini terkesan dengan kata-kata Minazh-Zhulumaati ilan Nuur yang berarti dari gelap kepada cahaya karena Kartini merasakan sendiri proses perubahan dirinya, dari kegelisahan dan pemikiran tak-berketentuan kepada pemikiran hidayah (how amazing…).
Dalam surat-suratnya kemudian, Kartini banyak sekali mengulang-ulang kalimat "Dari Gelap Kepada Cahaya" ini. (Sayangnya, istilah "Dari Gelap Kepada Cahaya" yang dalam Bahasa Belanda adalah "Door Duisternis Tot Licht" menjadi kehilangan maknanya setelah diterjemahkan oleh Armijn Pane dengan istilah "Habis Gelap Terbitlah Terang").

Sumber artikel di atas saya perloleh dari sini.

Nb: Baru saja dapat komplain dari seorang kawan. Dia memberitahukan sebuah artikel yang isinya bisa dijadikan imbangan atas tulisan yang saya buat. Artikel tersebut mempertanyakan kenapa Kartini yang dimunculkan sebagai tokoh emansipasi wanita Indonesia sementara masih ada tokoh lain yang lebih mempunyai peran nyata dalam memajukan wanita dan rakyat Indonesia pada masa itu. Tidak seperti Kartini yang hanya berhenti pada ide-ide dan tulisan suratnya tanpa aksi nyata. Lebih jelasnya silahkan lihat di sini. (April 23, 200

Mari Selamatkan Karya Ulama Indonesia
Oleh Ali Mursyid

Sepanjang abad ke-17 hingga ke-20, Indonesia memiliki ulama-ulama besar yang berkiprah di kancah internaional. Beberapa di antara mereka ada yang pernah didaulat menjadi mufti madzhab Syafi'i di Masjidil Haram, Makkah, seperti Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi. Ada juga yang menjadi guru besar dewan fatwa di Al-Azhar Mesir, seperti Syeikh Muhammad Nawawi ibn Umar al-Bantani. Di antara mereka juga ada yang menjadi mata rantai sanad hadits pada zamannya (musnid al-'ashr), seperti Syeikh Muhammad Mahfuzh at-Termasi dan Syaikh Muhammad Yasin ibn Isa al-Fadangi. Dan bahkan ada juga yang menjadi penyebar awal Islam di Afrika Selatan, seperti Syeikh Yusuf al-Makassari.

Para ulama ini menulis beberapa kitab dengan bahasa Arab yang hingga sekarang masih dijadikan rujukan di beberapa perguruan tinggi internasional, utamanya di Timur Tengah. Karya para ulama Indonesia atau Nusantara, baik yang telah berupa cetakan atau masih dalam bentuk manuskrip atau tulisan tangan (makhthûthâth), jumlahnya sangat besar. Salah satu sumber dari Aceh menyebutkan, khusus karya ulama di Aceh sebelum terjadinya tsunami saja diperkirakan mencapai 10.000 naskah.

Karya-karya ulama-ulama lainnya tersebar luas di berbagai wilayah Indonesia seperti Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banjarmasin, Palembang, Makassar, Gowa, Bone, Lampung, dan seterusnya. Tokoh-tokoh ulama besar Nusantara yang memiliki karya-karya fenomenal yang menyebar di berbagai wilayah nusantara tersebut dapat disebutkan beberapanya, seperti: Syeikh Abdurrauf al-Sinkili, Syeikh Nuruddin al-Raniri, Syeikh Syamsuddin Al-Sumatrani, Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, Syeikh Muhammad Nafis Al-Banjari, Abdusshamad Al-Palimbani, Syekh Nawawi Al-Bantani, Syeikh Yasin Al-Padangi, Kyai Ihsan Jampes, Syeikh Mahfudh Termas, Kyai Soleh Darat Al-Samarangi, hingga Kyai Mutamakkin.

Besarnya jumlah karya ulama Nusantara ini di satu sisi merupakan kekayaan khazanah intelektual yang diwariskan kepada kita, generasi penerus. Di Sisi lain, turâts yang sangat kaya ini mengharuskan kita untuk tidak sekedar memelihara, tetapi akan lebih baik jika dipelajari, dikaji, dan ditelaah secara ilmiah serta dijadikan discource intelektual Islam Indonesia.

Gerakan penyelamatan dan pengumpulan naskah-naskah karya ulama Indonesia lalu menjadi penting dilakukan. Ini mengingat banyaknya manuskrip karya ulama dan intelektual Muslim Indonesia yang tercecer dan berserakan di mana-mana. Padahal, tidak sedikit naskah yang ditulis para ulama dan intelektual Nusantara menjadi referensi akademik secara internasional.

Karena itulah kegiatan tahqîq terhadap karya-karya ulama Indonesia atau Nusantara menjadi penting untuk diselnggarakan. Kegiatan Tahqîq ini sendiri diklasifikasi menjadi dua kategori, yaitu Pertama, Tahqîq Naskah, yaitu kajian atau pembetulan karya tulis ulama yang umumnya masih berupa makhthûthâth atau manuskrip serta ditulis lebih dari satu orang, dan antara satu dengan lainnya tidak selalu sama hasilnya. Kedua, Tahqîq Al-Manhâj, yakni pembetulan metodologis dalam pembelajaran bidang studi atau suatu kitab yang dinilai kurang efektif. Untuk melaksanakan tahqîq ini harus didasarkan pada manuskrip atau makhtûthâth asli yang berupa tulisan tangan, dan bisa beberapa manuskrip atau makhtûthâth.

Beberapa tahun lalu, tepatnya 2007 kegiatan Tahqîq ini telah dimulai di Indonesia, dengan dipelopori oleh Departemen AgamaRI. Sejak itu beberapa naskah karya ulama Indonesia telah coba ditahqîq. Di antara kitab-kitab yang telah ditahqîq tersebut adalah: (1) Karya Nawawi al-Bantani dalam bidang Tafsir, Marah Labid. (2) Karya Kyai Ihsan Jampes dalam bidang Tasawuf, Sirâj At-Thâlibîn. (3) Karya Kyai Soleh Darat Semarang dalam bidang Tasawuf, Minhâj Al-Atqiya. (4) Karya Kyai Mahfudz Termas dalam bidang Hadits,; Al-Khil’ah Al-Fikriyah dan Manhâj Dzawin Nadhar. (5) Karya Kyai Ihsan Jampes dalam bidang Fiqh; Manâhij Al-Imdâd dan Fiqh Siyasah/ (6) Karya Sayyid Utsman Betawi dalam bidang Fiqh, Al-Qawânîn Asy-Syar’iyyah. Sumber lain menyebutkan bahwa hingga kini, kegiatan tahqîq terhadap karya-karya ulama Indoensia telah berhasil mengumpulkan ribuan halaman dari beberapa kitab karya ulama. Pada tahun 2007 sebanyak 4.000 lembar yang terangkum dalam 11 judul kitab. Sementara di tahun 2008, sebanyak 3.500 lembar yang terangkum dalam 10 judul kitab. Antara lain karya Syekh Yasin Al-Padangi, Syekh Nawawi Al Bantani dan Syekh Mahfudz At Tirmasi. Masih banyak lagi karya, naskah atau manuskrip yang belum ditahqiq. Siapa berikutnya yang mau ambil bagian?

Kartini: antara Tuhan dan Agama Nov 5, '07 5:46 AM
for everyone

Tuhan sajalah yang mengerti rahasia dunia; tangan-Nya mengendalikan alam semesta

 (Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902)
Pendahuluan

Kartini merupakan salah satu tokoh yang tidak ada habisnya diperbincangkan. Gagasan-gagasan Kartini membuat banyak orang tertarik untuk menelitinya. Pemikirannya yang dapat dikatakan revolusioner dan kontroversial pada zamannya selalu menjadi daya tarik tersendiri bagi para peneliti. Luasnya pemikiran Kartini yang ia tuangkan dalam setiap suratnya menjadi nilai lebih tokoh ini. Sampai sekarang pun, pemikiran Kartini masih menarik diteliti karena begitu luasnya aspek pembahasan yang dapat dikupas. Peneliti yang membahas tentang pemikiran Kartini sebagian besar mengambil sumber dari surat-surat Kartini yang dikumpulkan oleh J.H. Abendanon yang kemudian diterbitkan dalam sebuah buku yang berjudul Door Duisternis Tot Licht. Penerbitan buku tersebut memang menjadi masukan berharga bagi penelitian pemikiran Kartini. Akan tetapi hal itu menjadi salah satu titik kelemahan dalam sebuah penelitian pemikiran yang didominasi oleh satu sumber.

Pemikiran Kartini secara umum dipengaruhi oleh realitas sosial yang terjadi dihadapannya, tetapi banyak pula dasar pemikirannya yang ia dapatkan dari buku-buku yang ia baca. Secara umum, pengalaman empiris Kartini menjadi faktor dominan dalam setiap pemikirannya. Pemikiran mengenai Tuhan dan agama dari seorang Kartini sangat menarik untuk diteliti di tengah ramainya penelitian tentang pemikiran Kartini mengenai emansipasi wanita dan pendidikan. Pergulatan batin Kartini mengenai Tuhan dan agama di tengah kehidupan kejawen masyarakat Jawa saat itu, serta interaksi Kartini dengan teman korespondensinya yang notabene beragama Kristen menjadi perpaduan menarik dalam upaya mengeksplorasi pemikiran Kartini.

Riwayat Hidup Kartini

Raden Ajeng Kartini dilahirkan di Desa Mayong Karesidenan Jepara pada tanggal 21 April 1879 atau 28 Rabiul Akhir 1808. Ia merupakan anak ke-5 dari keluarga R.M.A.A Sosroningrat yang saat itu menjabat sebagai Kepala Distrik Mayong. Sosroningrat adalah keluarga bangsawan Jawa, anak dari Pangeran Ario Tjondronegoro IV yang dalam silsilahnya merupakan keturunan Raja Majapahit.[1] Dalam mendidik dan memberikan pendidikan kepada anak-anaknya, Sosroningrat dipengaruhi oleh ayahnya. Menurut penuturan Kartini, kakeknya (Pangeran Ario Tjondronegoro) adalah Bupati Demak pertama yang mempelopori dan membuka pintu lebar-lebar bagi pendidikan gaya Barat dalam keluarganya.[2] Secara tidak langsung, hal ini berpengaruh terhadap pendidikan anak-anak Sosronigrat. Bahkan Sosrokartono, kakak Kartini, atas dukungan seluruh keluarga bisa melanjutkan studi ke negeri Belanda. Berbeda dengan keluarga ayahnya yang merupakan keturunan ningrat, ibunya adalah rakyat biasa yang bernama Ngasirah. Ia dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama dari pasangan Kyai Haji Mardiono dan Nyai Siti Aminah. Ketika diangkat menjadi Bupati Jepara, ayah Kartini menikah lagi dengan Raden Ajeng Moerjam, seorang anak keturunan bangsawan Madura. R.A. Moerjam kemudian menjadi raden ayu dari Bupati Sosroningrat. Meskipun Ngasirah adalah istri resmi seorang bupati, kedudukan dalam rumah tangga di Kabupaten Jepara sebagai istri selir dianggap tidak terhormat. Ia harus memanggil anak-anaknya dengan sebutan ndoro, sedangkan anak-anaknya memanggilnya dengan sebutan yu. Hal ini disebabkan oleh karena Kartini bergelar kebangsawanan raden ajeng, sedangkan Ngasirah tetap Yu Ngasirah.

Seperti telah disebutkan di atas, Sosroningrat mewarisi sifat progresif ayahnya yang selalu berpesan kepada anak-anaknya, bahwa “tanpa pengetahuan, kalian kelak tidak akan merasa bahagia dan dinasti kita akan makin mundur”. Oleh karena itu, Sosroningrat menyekolahkan semua anaknya baik yang putra maupun yang putri. Ia menyekolahkan anak-anaknya ke Sekolah Belanda yakni Europese Lagere School walaupun adat kaum bangsawan saat itu melarang keras putri-putrinya ke luar rumah, apalagi setiap hari masuk sekolah dan bergaul dengan anak lelaki. Akan tetapi cita-cita Kartini untuk melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi akhirnya kandas karena ketika sudah mencapai usia 12,5 tahun ia harus masuk dalam pingitan.[3] Kartini masuk pingitan pada tahun 1892. Awalnya selama empat tahun ia mengalami kesedihan karena kesendiriannya. Apalagi ketika masa pingitan itu ditambah dua tahun bersama adiknya Rokmini dan disusul juga oleh adik Kardinah. Ketiga-tiganya dibebaskan lagi pada tahun 1898.[4] Kartini menikah dengan Bupati Rembang R.M.A.A. Djojoadiningrat pada 8 November 1903. Setelah menikah, ia pindah ke Rembang dan menjadi raden ayu di Kabupaten. Kartini tinggal bersama suami dan anak-anak tirinya. Kurang dari setahun setelah pernikahannya, Kartini akhirnya tutup usia pada 17 September 1904 setelah sebelumnya melahirkan anaknya yang pertama.

Internalisasi Agama Islam

Kartini memang bukan orang yang mempunyai pemahaman mendalam tentang agama meskipun keluarganya memberikan pendidikan agama terhadap Kartini. Sejak masa kanak-kanak, Kartini diberikan pelajaran membaca Al-Quran. Dalam berbagai pelajaran yang diberikan keluarganya, (seperti menyulam, menjahit, dll) hal yang tidak disukainya adalah pelajaran membaca Al-Quran. Bahkan ibunya pernah memarahi Kartini karena ia tidak mau mengikuti pelajaran itu. Penyebab Kartini tidak menyukai pelajaran membaca Al-Quran adalah ketidakmampuan gurunya dalam menjawab pertanyaan murid-muridnya. Hal itulah yang menyebabkan Kartini berpendapat bahwa ia beragama Islam karena factor keturunan seperti yang diceritakan kepada Stella dalam suratnya pada 6 November 1899.

Dan, sebenarnyalah saya beragama Islam karena nenek moyang saya beragama Islam. Bagaimana saya mencintai agama saya, kalau saya tidak mengenalnya? Tidak boleh mengenalnya? Al-Quran terlalu suci untuk diterjemahkan, dalam bahasa apapun juga. Disini tidak ada orang tahu bahasa Arab. Disini orang diajari membaca Qur’an tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Saya menganggap hal itu pekerjaan gila; mengajar orang membaca tanpa mengajarkan makna yang dibacanya. Samalah halnya seperti engkau mengajar saya membaca buku bahasa Inggris dan saya harus hafal seluruhnya, tanpa kamu terangkan arti kata sepatah pun dalam buku itu kepada saya. Kalau saya mau mengenal dan memahami agama saya, maka saya harus pergi ke negeri Arab untuk mempelajari bahasanya di sana.[5]

Dari kutipan kutipan di atas, sangat jelas bahwa Kartini terus terang mengaku bahwa ia beragama Islam dan tidak menutupi iman kepercayaannya, namun di lain pihak, hal tersebut menjadi salah satu faktor penyebab utama dangkalnya pemahaman Kartini tentang Islam yang nantinya membuat jarak antara ia dengan Islam sehingga seringkali ia mengambil sikap kritis terhadap agamanya itu.

Dalam sebuah buku kecil yang ditulis oleh Asma Karimah (2001), ia menulis tentang pertemuan Kartini dengan Kyai Haji Muhammad Sholeh bin Umar, seorang ulama besar dari Darat, Semarang.[6] Kyai Haji Sholeh Darat (demikian ia dikenal) sering memberikan pengajian di berbagai kabupaten di sepanjang pesisir utara. Pada suatu ketika, Kartini berkunjung ke rumah pamannya seorang bupati di Demak (Pangeran Ario Hadiningrat). Saat itu sedang berlangsung pengajian bulanan khusus untuk anggota keluarga. Kartini ikut mendengarkan pengajian tersebut bersama raden ayu yang lain dari balik hijab (tabir). Kartini tertarik dengan pengajian yang disampaikan oleh Kyai Haji Sholeh Darat yang saat itu membahas tentang tafsir Al-Quran Surah Al-Fatihah. Setelah selesai acara pengajian, Kartini mendesak pamannya agar bersedia menemaninya untuk menemui Kyai Sholeh Darat. Saat itu Kartini bertanya kepada Kyai Sholeh Darat tentang hukum orang berilmu yang menyembunyikan ilmunya, lalu Kartini mencurahkan isi hatinya yang selama ini tidak pernah mengerti makna kandungan ayat-ayat Al-Quran. Setelah pertemuan tersebut, Kyai Sholeh Darat tergugah untuk menerjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa Jawa. Pada hari pernikahan Kartini, Kyai Sholeh Darat menghadiahkan kepadanya terjemahan Al-Quran (Faizhur Rohman Fit Tafsiril Qur’an) jilid I yang terdiri dari 13 juz, mulai dari Surah Al-Fatihah sampai dengan Surah Ibrahim. Mulailah Kartini mempelajari Islam dalam arti yang sesungguhnya. Tapi sayang, tidak lama setelah itu, Kyai Sholeh Darat meninggal dunia sebelum menyelesaikan penerjemahan Al-Quran ke dalam bahasa Jawa.[7] Nama Kyai Sholeh Darat tidak pernah dituliskan secara eksplisit oleh Kartini dalam surat-suratnya, namun kegembiraan Kartini menerima terjemahan Al-Quran pernah ia tuliskan dalam suratnya kepada E.C. Abendanon pada 17 Agustus 1902. Saat itu Kartini hanya menulis ada orang tua yang memberikan terjemahan Al-Quran kepadanya.

Wahai! Kegembiraan orang-orang tua mengenai kembalinya anak-anak yang tersesat kepada jalan yang benar demikian mengharukan. Seorang tua di sini, karena girangnya yang sungguh-sungguh tentang hal itu menyerahkan kepada kami naskah-naskah lama Jawa. Kebanyakan ditulis dengan huruf Arab. Sekarang kami hendak belajar lagi membaca dan menulis huruf Arab. Kamu barangkali tahu, bahwa buku-buku Jawa itu sukar sekali didapat, karena ditulis dengan tangan. Hanya beberapa buah saja yang dicetak.[8]

Pandangan Kartini tentang Tuhan dan Keyakinan Monoteisme

Sangat sulit untuk memahami perkembangan pandangan Kartini tentang Tuhan dan agama dalam kurun waktu (penulisan surat-suratnya) yang sangat singkat. Kendala lainnya adalah gagasan tersebut dituangkan dalam bentuk surat yang kurang mengekplorasi pemikiran Kartini. Kartini lahir dan meninggal sebagai seorang muslimah. Sejak kecil ia sudah biasa mendengar ajaran bahwa Tuhan itu tunggal/esa. Kartini bukan penganut politesime, ia mengaku sebagai seorang monoteisme. Hal tersebut ia sebutkan dalam suratnya kepada Ny. Van Kol pada 21 Juli 1902.

Tiada Tuhan kecuali Allah! Kata kami umat Islam, dan bersama-sama kami semua yang beriman, kaum monotheis; Allah itu Tuhan, Pencipta Alam Semesta.[9]
Dalam surat-suratnya, Kartini menyatakan bahwa dalam kehidupan ini hanya ada satu Tuhan, yang disebut Allah oleh orang Islam. Hal itu ia sebutkan dalam suratnya kepada Dr. N. Adriani pada  24 September 1902.
Kartini memberikan berbagai penjelasan tentang Tuhan, khususnya sifat-sifat yang dimiliki oleh Allah. Tuhan MahaBesar, Tuhan MahaKuasa, Tuhan MahaTahu, dan berbagai sifat lain yang selalu ia ungkapkan. Sifat-sifat tersebut diungkapkan Kartini hanya beberapa kali sehingga memberi kesan bahwa pembaca suratnya sudah dengan sndirinya mengetahui sifat-sifat Tuhan. Hal yang menarik adalah penekanan Kartini tentang sifat Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Hampir di semua surat keagamaannya, Kartini selalu menekankan arti penting dari gagasan tentang kasih sayang tersebut, setidak-tidaknya untuk dirinya sendiri.[10] Kartini menggambarkan ada hubungan yang dekat dan intim antara dirinya dengan Tuhannya. Hal itulah yang nantinya melahirkan ungkapan “Tuhan sebagai Bapak”. Kedekatan Kartini dengan ayahnya walaupun seringkali berbeda pendapat, tidak mengurangi rasa kasih sayangnya. Hal itulah yang membawa diri Kartini mengungkapkan hal tersebut dan menyebut Tuhan dengan sebutan Bapak. Seperti yang pernah diungkapkannya dalam suratnya kepada Ny. Van Kol pada 20 Agustus 1902.

Beliau ingin sekali bertemu dengan nyonya agar dapat mengucapkan terima kasih secara pribadi kepada nyonya atas keajaiban yang telah nyonya ciptakan pada anak-anaknya: nyonya telah membuka hati kami untuk menerima Bapak Cinta Kasih![11]

Kedekatan dirinya dengan Tuhan dlukiskan dan disebutkan Kartini dalam berbagai ungkapan, misalnya sebutan “cahaya”, “kata hati”, “hati nurani”. Dua ungkapan terakhir nampak tidak cocok untuk digunakan. Apa yang dimaksud Kartini dengan menyebut Tuhan dengan sebutan “hati nurani” lebih disebabkan konteks permasalahan yang ia hadapi.

Tuhan kami adalah hati nurani kami, neraka dan surga kami adalah hati nurani kami. Kalau kami berbuat salah, kami dihukum oleh hati nurani kami. Kalau kami berbuat baik, kami diberkati oleh hati nurani kami. (Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 15 Agustus 1902).[12]

Dalam suratnya, ia mengungkapkan kekesalannya tentang dunia spiritual di kalangan bangsanya yang sama sekali tidak menyediakan uang untuk bertanya. Sekarang ia tidak mau lagi melakukan segala sesuatu (ibadah) tanpa mengetahui maknanya terlebih dahulu. Ia tidak mau lagi sekadar menghafal atau menerima sesuatu dengan menelannya begitu saja. Dalam konteks itu, maka munculah sebutan “hati nurani” yang berarti bahwa ia akan mempertimbangkan apa yang diterimanya berdasarkan kata hatinya, karena tidak ada ukuran lain yang dimilikinya kecuali hati nurani. Oleh sebab itu, maka wajar apabila Kartini menemukan “hati nurani” sebagai instansi untuk mengukur apa yang disebut “perbuatan salah” dan “perbuatan benar”, atau untuk membedakan surga dan neraka.[13]

Pemikiran religius Kartini banyak dipengaruhi oleh Ny. Van Kol. Surat-surat Kartini yang terkait dengan pemikiran tentang Tuhan dan agama sebagian besar ditujukan kepada Ny. Van Kol.[14] Selain Stella Zeehandelaar, Ny. Van Kol sangat religius dan kaya dengan rumusan teologis yang menarik. Surat-surat Kartini kepada Ny. Van Kol tentang Agama seringkali membicarakan dan berdiskusi secara hangat.  Contohnya adalah suratnya pada 20 Agustus 1902 dengan pokok pembicaraan tentang “kecemburuan Tuhan”.

Tuhan itu cemburuan, kata orang. Dia tidak memperkenankan orang meyembah dewa-dewa lain kecuali Dia, Karena  itulah Dia menyatakan hukuman dengan cara menyadarkan orang yang menciptakan dewa-dewa bagi diri mereka sendiri dan menyembahnya dengan penghormatan yang setinggi-tingginya. Kesadaran adalah hukuman yang pahit rasanya. [15]

Persoalan yang dihadapi Kartini adalah apabila Tuhan bersifat cemburu, apakah berarti Ia hanya menyetujui satu agama saja? Bagaimana dengan Ny. Van Kol, apakah ia mengusulkan kepada Kartini bahwa hanya agama Kristen saja yang benar? Tentunya Kartini tidak akan menyetujui hal itu. Kartini melanjutkan tulisannya dan menjawab persoalan tersebut.

Tetapi menurut kami: “Kamu jangan salah pandang, melihat dewa-dewa lain, mengira melihat aku” adalah perintah yang penuh kasih mesra. Bukankah perintah itu memuat peringatan yang sungguh-sungguh dan memandang cinta kasih kepada manusia: manusia itu manusia-makhluk bersifat khilaf…. Ah, sekiranya peringatan itu difahami secara lebih baik; alangkah banyaknya penderitaan pahit yang dapat dihindari oleh umat manusia![16]

Tuhan “cemburu” karena manusia khilaf. Mereka memakai Tuhan dan agama untuk kepentingan mereka sendiri. mereka berbuat jahat dengan memakai nama Tuhan. Tuhan “cemburu” karena manusia hanya memakai nama-Nya untuk kepentingan mereka sendiri. Ungkapan ini mengarahkan pemahaman yang baik dan memberikan peringatan kepada manusia untuk tetap berada pada jalan yang baik, yaitu jalan yang menuju pada kasih sayang. Gagasan Kartini tentang agama pada dasarnya terkait dengan niatnya untuk memikirkan hubungan antaragama.

Universalisme Agama dan Sinkretisme Etis
Sepeti telah dipaparkan sebelumnya, Kartini percaya hanya ada satu Tuhan untuk seluruh makhluk. Tuhan menciptakan agama karena manusia bersifat khilaf dan dimaksudkan agar manusia dapat dijauhkan dari dosa.

Agama dimaksudkan supaya memberi berkah. Untuk membentuk tali ssilaturrahmi antara semua makhluk Allah, berkulit putih atau coklat. Tidak pandang pangkat, perempuan atau laki-laki, kepercayan, semuanya kita ini anak Bapak yang seorang itu, Tuhan yang Maha Esa![17]

Mengenai sinkretisme, kehidupan Kartini memang sangat kental dengan pengaruh kejawen. Bukan hanya itu, apabila kita meneliti lebih lanjut, Kartini juga pernah menganggap dirinya sebagai anak Budha. Walaupun konteks pengakuannya sebagai anak Budha itu hanya didasarkan pada pengalaman dirinya yang pernah sakit keras dan berobat ke berbagai dokter namun tak kunjung sembuh sampai pada akhirnya ia disembuhkan dengan ramuan air abu sesaji seorang “pesakitan” Tionghoa. Hal ini ia ceritakan dalam suratnya kepada Ny. Abendanon pada 27 Oktober 1902.

Ketahuilah nyonya, bahwa saya anak Budha, dan itu sudah menjadi alasan untuk pantang makan daging. Waktu kecil saya sakit keras; para dokter tidak dapat menolong kami; mereka putus asa. Datanglah seorang Cina (orang hukuman) yang bersahabat denan kami, anak-anak. Dia menawarkan diri menolong saya. Orang tua kami menerimanya, dan saya sembuh. Apa yang tidak berhasil dengan obat-obatan kaum terpelajar, barhasil dengan “obat tukang jamu”. Ia menyembuhkan saya dengan menyuruh saya minim abu lidi sesaji kepada patung kecil dewa Cina. Karena minuman itulah saya menjadi anak leluhur suci Cina itu, yaitu Santik Kong dari Welahan.[18]

Daya sinkretik yang dialami Kartini begitu besar. Hal itu bukan hanya dipengaruhi oleh pemikiran luar serta pengalaman, tetapi juga disebabkan minimnya  pemahaman Islam yang semestinya ia kuasai. Kartini terpengaruh pemikiran luar setelah ia membaca riwayat hidup seorang pahlawan India yaitu Pandita Ramabai.[19]

Monoteisme Kartini membawa Kartini pada sebuah pemahaman universal, bahwa semua diciptakan oleh Allah yang tunggal. Manusia dipersatukan dan dipersaudarakan, dan agama diberikan Allah sebagai berkah kepada seluruh manusia tanpa melihat lapisan, pangkat, warna kulit, dsb. Universalisme dalam bidang agama ini bukan suatu keyakinan yang berdiri sendiri juga bukan hanya artian religius. Akan tetapi memberikan implikasi kepada hubungan antarbangsa, antarbudaya, dsb. Ia menginginkan agar agama-agama saling bekerja sama demi kepentingan kemanusiaan. Meskipun Kartini mempunyai pemahaman bahwa semua manusia bersaudara karena satu Tuhan, namun bukan berarti ia tidak memahami realitas yang terjadi dalam hubungan antarumat beragama, seperti pernyataannya dalam surat yang ditujukan kepada Stella pada 6 November 1899 ketika jiwanya bergejolak dalam keraguan.

Ya Tuhan, kadang-kadang saya berharap, alangkah baiknya, jika tidak pernah ada agama. Sebab agama yang seharusnya justru mempersatukan semua manusia, sejak berabad-abad menjadi pangkal perselisihan dan perpecahan, pangkal pertumpahan darah yang sangat ngeri. Orang-orang seibu-sebapak ancam-mengancam berhadap-hadapan, karena berlainan cara mengabdi kepada Tuhan Yang Esa, dan Tuhan Yang Sama.[20]

Kartini dirundung keraguan terhadap persoalan agama. Tidak bisa dipungkiri bahwa realitas itu membawanya kepada suatu krisis kepercayan terhadap agama. Dia mengandaikan apabila tidak pernah ada agama, mungkin tidak akan ada perang yang dijalankan atas nama agama, menghina, dan membenci antarumat beragama padahal semua agama mengajarkan pada kebaikan.

Kartini menghadapi sebuah persoalan teologis mendalam, namun tidak sampai pada sebuah pemahaman bahwa agama adalah sumber dari segala kegaduhan dan kericuhan. Ia tetap berpendapat bahwa agama mengajarkan kebaikan, pemeluknya yang berbuat jahat atas nama agama yang secara tidak langsung justru memperkosa agama itu sendiri.[21] Kartini berusaha mencari jalan keluar dari segala persoalan yang ada dihadapannya. Meskipun mempunyai pembawaan religius yang mendalam, Kartini bukanlah orang yang secara khusus memiliki perangkat seperti yang dimiliki oleh para ulama. Ia menghargai agama dan menghayatinya sebagaimana agama itu dihayati oleh para pemeluknya walaupun pengetahuannya dalam bidang agama tidak mendalam. Pada sisi lain, Kartini mendapat pengaruh oleh alam pemikiran keagamaan yang sudah tumbuh mengakar di Jawa. Oleh karena itu, dapat pula diperkirakan bahwa naluri sinkretisme juga memainkan peran besar. Meskipun begitu, Kartini lebih cenderung tidak berpikir doktriner. Pikiran Kartini tidak terikat dengan doktrin-doktrin tertentu, melainkan mengembangkan pemikirannya sendiri secara bebas. Tentang pertikaian yang terjadi antaragama, Kartini mengingatkan bahwa semua agama pada dasarnya sama saja. Tidak ada satu agama yang lebih tinggi dari agama lainnya. Semua agama adalah jalan yang diberikan Tuhan untuk mengabdi kepada-Nya. Dalam suratnya yang ditujukan kepada Adriani pada 24 September 1902 dikatakan oleh Kartini bahwa semua agama menuju kepada kebaikan.

Betapapun jalan-jalan yang kita lalui berbeda, tapi kesemuanya itu menuju kepada satu tujuan yang sama, yaitu Kebaikan. Kita juga mengabdi kepada Kebaikan, yang tuan sebut Tuhan dan kami sendiri menyebutnya Allah.[22]
Apabila Kartini menyebut tentang jalan-jalan yang berbeda, tetapi menuju tujuan yang sama maka setidaknya hal itu menunjukkan bahwa ia adalah seorang sinkretis. Akan tetapi dalam hal ini, sinkretisme Kartini bukanlah sinkretisme dogmatis, melainkan sinkretisme etis. Sinkretisme etis yang dimaksud disini adalah bahwa Kartini menganggap semua agama pada hakikatnya sama-sama mengajarkan kebaikan. Tetapi seringkali justru pemeluknya sendiri yang membuat agama menjadi dipandang tidak baik karena perilakunya. Kartini memandang bahwa dalam setiap perbedaan agama ada suatu titik temu yakni mengenai ajaran kebaikan. Disinilah letak pemahaman Kartini mencampuradukkan agama dalam sisi etis bukan dogma. Dengan kata lain, dapat diartikan bahwa Kartini menginginkan semua orang berdamai, tidak saling benci, tidak berperang, dan bersama-sama memikirkan masalah perbaikan kemanusiaan karena pada dasarnya semua agama menuju kepada kebaikan.

DAFTAR PUSTAKA

Karimah, Asma. Tragedi Kartini: Sebuah Pertarungan Ideologi. Bandung: Asy-Syaamil, 2001.
Soeroto, Sitisoemandari. Kartini: Sebuah Biografi. Jakarta: Gunung Agung, 1979.
Sumartana. Tuhan dan Agama dalam Pergulatan Batin Kartini. Jakarta: Grafiti, 1993.
Surat-surat Kartini, Renungan tentang dan untuk Bangsanya, terjemahan Sulastin Sutrisno. Jakarta: Djambatan, 1979.
Toer, Pramoedya Ananta. Panggil aku Kartini saja. Jakarta: Hasta Mitra, 2000.
[1] Sitisoemandari Soeroto, Kartini: Sebuah Biografi, Jakarta: Gunung Agung, 1986, hlm. 9-31. Dalam buku ini dijelaskan secara rinci silsilah keluarga  Tjondronegoro. Ia dan juga Kartini diduga merupakan keturunan langsung dari Prabu Browijoyo raja terakhir Majapahit.

[2] Selengkapnya lihat dalam suratnya kepada Stella Zeehandelar tanggal 25 Mei 1899. Baca Sulastin Sutrisno, Surat-surat Kartini: Renungan tentang dan untuk Bangsanya, Bandung: Djambatan, 1979, hlm.2
[3] Walaupun ayahnya cukup progresif, namun ia masih belum dapat melepaskan seluruh adat kebiasaan bangsawan yang kolot.
[4] Sitisoemandari Soeroto, Op. Cit., hlm. 42-52.
[5] Sulastin Sutrisno, Op. Cit., hlm. 18.
[6] Kyai Haji Sholeh Darat (demikian ia dikenal) dilahirkan pada tahun 1820 di Desa Kedung Cumpleng, Kecamatan mayong, Kabupaten Jepara. Nama aslinya adalah Muhammad Ibnu Umar. Ia disebut juga Syekh Haji Muhammad Salih Ibnu Umar as-Samarani. Ia adalah salah satu ulama terkenal yang hidup pada masa Kartini. Kyai Haji Sholeh Darat terkenal rendah hati walaupun ia menuntut ilmu pada ulama-ulama terkenal bahkan dirinya pernah pergi menuntut ilmu di Mekah. Lebih jelas, lihat ‘Berfikir Sederhana untuk Beragam Kalangan’ dalam Majalah Gatra No. 02-03 Tahun X. 6 Desember 2003.
[7] Asma Karimah, Tragedi Kartini: Sebuah Pertarungan Ideologi, Bandung: Asy-Syaamil, 2001, hlm. 33-35. Dalam penjelasannya, Asma Karimah mengambil sumber dari tulisan Ny. Fadilah Abd. Chamid dalam Buletin Ikatan Mubaligh Muslimat.
[8] Sulastin Sutrisno, Op. Cit., hlm.243.
[9] Ibid., hlm.230.
[10] Sumartana, Tuhan dan Agama dalam Pergulatan Batin Kartini, Jakarta: Grafiti, 1993, hlm. 68.
[11] Sulastin Sutrisno, Op. Cit., hlm. 254.
[12] Ibid., hlm. 241.
[13] Sumartana, Op. Cit., hlm. 70.
[14] Ny. Nellie Van Kol adalah istri dari Ir. Henri Hubert van Kol. Suaminya adalah seorang insinyur yang ditugaskn di Hindia Belanda untuk membangun pengairan. Dia melihat kemiskinan yang diderita oleh rakyat. Ia pernah dihukum selama 3 bulan penjara dengan tuduhan “menghasust”. Tetapai akhirnya ia dibebaskan. Ia bukan seorang politikus ulung namun haya seorang sosialis yang tidak senang melihat penindasan yang melanggar perikemanusiaan. Istrinya adlah pengarang yang menulis di majalah wanita De Hollandse Lelie. Kartini berlangganan majalah ini dan juga sering menulis di majalah ini. iatulah awal perkenalan Kartini dengannya.
[15] Sulastin Sutrisno, Op. Cit., hlm.253.
[16] Ibid., hlm.253-254.
[17]Ibid., hlm. 230. (Surat tertanggal 21 Juli 1902 kepada Ny. Van Kol).
[18] Ibid., hlm. 286.
[19] Selengkapnya baca Pramoedya Ananta Toer, Panggil aku Kartini saja, Jakarta: Hasta Mitra, 2000, hlm. 221-225.
[20] Sulastin Sutrisno, Op. Cit., hlm. 18-19.
[21] Sumartana, Op. Cit., hlm. 80.
[22] Sulastin Sutrisno, Op. Cit., hlm 268.
Tags: tokoh & pemikiran

Ditulis Oleh : ماس اكمال ~ Tutorial Blog, Tips, Trik, Download

Artikel Ibu Kartini Murid Kyai Sholeh Darat Semoga bermanfaat bagi sobat blog. Terimakasih atas kunjungan Anda serta kesediaan Anda membaca artikel ini. Kritik dan saran dapat anda sampaikan melalui kotak komentar salam selalu dari mas akmal.

No comments:

Post a Comment

Jangan Lupa Comentnya ya...!

DAFTAR ARTIKEL
BISMILLAHITAWAKKALTU ALLALLOH